PENDAKIAN PERTAMA




Nama saya Johan Wisnu Saputra dan melakukan pendakian adalah passion saya. Dan ini adalah cerita tentang pendakian pertama saya, sebuah pendakian ke sebuah gunung yang sebenarnya belum saya kenal sebelumnya. Sebuah perjalanan yang membuat saya menghargai kehidupan ini.

Waktu diajak oleh teman-teman saya waktu itu untuk mendaki Gunung Arjuna, mungkin yang ada di pikiran saya adalah sebuah pendakian yang enteng dan sebuah gunung yang tidak terlalu tinggi untuk didaki. Kami waktu itu tidak membawa bekal yang banyak, peralatan yang seadanya, tenda yang benar-benar tidak layak untuk digunakan, serta sikap meremehkan alam yang ada pada kami semua.

Hari Jumat malam di akhir Tahun 2008 aku, Yoyok, BJ, dan Lakso berangkat. Tujuan kami adalah Gunung Arjuna. Sesampainya di pos perijinan kami beristirahat sebentar seraya mengurus ijin untuk melakukan pendakian. Dan pada jam 12 malam, kami pun berangkat. Mungkin sebelum berangkat kami mengira bahwa kami akan melewati jalur tanah yang nyaman untuk dipijak oleh kaki. Namun kenyataannya kami melewati jalur berbatu yang merupakan trek yang digunakan jeep hardtop untuk mengangkut belerang yang diambil penambang dari Gunung Welirang. Sebab memang sebenarnya antara Gunung Welirang dan Gunung Arjuna masih dalam satu gugusan pegunungan namun dengan puncak yang berbeda. Waktu itu aku hanya memakai sandal jepit yang sudah agak using, sehingga memang waktu di tengah jalan sandalku putus. Dan akhirnya terpaksa memakai sandal temanku yang agak kekecilan.

Akhirnya kami sampai di pos 1 (kop-kopan) pada pukul 5 pagi. Dan kami memasak mi instan untuk sarapan kami semua karena memang kami hanya membawa mi instan untuk bekal perjalanan kami semua. Dan disinilah saya mulai merasakan hipoksia yaitu kurangnya oksigen dalam otak karena faktor ketinggian. Gejala yang timbul biasanya memang pusing, mual, sesak nafas, badan lemas dan tidak nafsu makan. Ditambah kami memang tidak tidur semalaman sehingga badanpun jadi semakin drop.

Dengan tenaga seadanya dan semangat yang semakin memudar kamipun melanjutkan perjalanan. Kami disuguhi tanjakan-tanjakan yang curam serta jalan yang masih tetap berbatu tajam. Ditambah lagi kami yang sempat tersesat beberapa jam di jalan karena mengikuti jalan pintas. Kami juga sempat tidur di jalan karena putus asa, namun dengan semangat seadanya kami tetap berjalan pelan-pelan untuk menuju pos selanjutnya yaitu pondokan.

Dengan rintangan yang kami hadapi di jalan, akhirnya pada jam 2 siang hari Sabtu, kami sampai di pos pondokan yang merupakan tempat pondok-pondok penambang belerang. Setelah sampai kami mendirikan tenda kita untuk pertama kali. Dan memang tenda yang kita pakai benar-benar tidak layak pakai, sebab frame tenda yang hanya terbuat dari pipa serta bahan tenda yang tembus air. Setelah tenda berdiri kami pun beristirahat. Waktu bangun sakit yang saya rasakan di pos sebelumnya semakin parah. Ditambah badan saya yang akhirnya jadi demam dan memang kami tidak membawa persiapan obat-obatan. Untunglah kita bertemu pendaki lain yang memiliki perbekalan yang lebih lengkap. Kamipun meminta bantuan mereka, dan akhirnya merekapun mau menolong. Saya yang terkena penyakit gunungpun dibuatkan masakan yang spesial yaitu nasi, mi dan telur dan memang setelah makan sakitku sedikit mereda. Disinilah saya merasakan persaudaraan di gunung. Dan memang benar apa yang dikatakan sebagian besar orang, di gunung kita semua adalah saudara.

Ketika bangun kita pun mengubah rencana kita. Kita yang tadinya ingin menuju puncak Arjuna akhirnya mengalihkan tujuan kita ke puncak Welirang. Karena selain jarak dan waktu tempuh yang lebih pendek, juga trek yang aman. Karena memang sebenarnya tidak ada satupun dari tim kita yang mengenal medan yang ada di gunung Arjuna. Setelah sarapan bersama Mas Catur dan temannya yang menolong kami semalam kami meneruskan perjalanan ke puncak Welirang. Dalam waktu 3 jam dengan trek yang berbatu terjal kami akhirnya sampai juga di puncak. Pemandangan puncak waktu itu memang berkabut, sehingga kita tidak dapat sepuasnya menikmati indahnya alam yang membentang. Setelah puas foto-foto kamipun turun gunung.

Setelah sampai pondokan dengan waktu tempuh 1,5 jam kami tidur-tiduran sebentar, karena memang kami kecapekan dan semalam kurang tidur karena kedinginan. Setelah 30 menit tidur kami melanjutkan perjalanan turun ke pos selanjutnya. Medan yang kami lalui untuk turun ternyata lebih berat karena kami harus menahan beban di atas jalan yang berbatu tajam. Sehingga kaki terasa sakit. Sesampainya di pos 4 kami masak untuk makan malam. Namun hipoksia yang aku alami kembali lagi. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk tidak makan, dan ini malah memperparah keadaanku dan benar akhirnya aku muntah-muntah. Dan kondisi diperparah oleh hujan yang turun sehingga kami terpaksa berteduh sebentar di tempat tersebut. Untung waktu itu ada teman-teman yang selalu memberikan support kepada saya. Jam 1 malam hujanpun berhenti, kami bertekad untuk melanjutkan perjalanan. Dengan semangat teman-teman yang menggebu-gebu saya pun jadi ikutan semangat. Meskipun dengan kepala pusing dan perut yang mual serta senter yang saya bawa mati, pelan-pelan kami berusaha untuk dapat mengatasi rintangan yang ada. Dan memang rintangan yang terbesar adalah diri kita sendiri. Setelah ber jam-jam dan jatuh bangun karena jalan yang memang sangat licin kami akhirnya sampai juga di pos perijinan, tempat awal kita berangkat. Benar-benar perjalanan yang melelahkan. Aku sempat berpikir, mungkin aku tidak akan melakukan perjalanan seperti ini lagi di waktu yang akan datang. Namun Mas Catur yang telah menolong kita selama ini dan ternyata kita sampai secara bersamaan berkata,” Gunung itu seperti memberikan kutukan pada kita semua. Ketika orang turun gunung pasti suatu saat akan terasa kangen untuk naik gunung lagi.” Dan ternyata itu benar, sekarang malah aku yang ketagihan untuk mendaki gunung.

Dan ternyata kita memang makhluk yang sangat kecil di jagat raya ini. Kesombongan kita akan dapat menghancurkan kita sendiri karena kita memang bukan siapa-siapa jika berhadapan langsung dengan alam. Bukan gunung yang sebenarnya ditaklukkan oleh para pendaki, namun kesombongan dalam diri pendaki itu sendirilah yang harus ditaklukkan. Hanya kerendahan hati lah yang dapat membuat kita bersahabat dengan alam.

0 komentar:

Posting Komentar